Lembaga Adat sebagai Motivator: “Kemitraan sebagai Satu System yang Efektif dan Efisien dalam Berinvestasi”
Oleh: Drs. Yakobus Kumis
Salah satu upaya untuk mencapai efekitivitas dan efesiensi tampaknya bisa dilakukan oleh
Lembaga Adat dalam perannya sebagai pengerak, komunikator dan Motivator bagi masyarakat adat dengan para investor.
Lembaga Adat harus menekankan bahwa investor harus menempatkan dan memposisikan masyarakat adat sebagai mitra wajib perusahaan, bukan sebagai sapi perah yang ditindas. Dengan demikian, keseluruhan inisiatif, proses, pembiayaan, pengawasan dan penilaian atas operasional perusahaan dilakukan antar investor dan masyarakat adat itu sendiri sehingga Negara terbebas dari beban yang tidak perlu, sementara masyarakat adat dididik untuk mandiri dan terbebas dari kepentingan politik Negara dan perangkatnya sebagai omnicompetent institusion. System yang menganut Pola kemitraan, diyakini memberikan hasil yang sangat luar biasa baik. Selain menguntungkan pihak perusahaan dan bertambahnya kas daerah, juga terutama ekonomi masyarakat dapat ditingkatkan.
Sebagai sebuah pola baru yang harus dianut oleh investor, system kemitraan dengan
masyarakat adat tersebut akan membentuk watak, mendidik demokrasi ekonomi dalam membangun bangsa kita ini. Bersediakan pemerintah bekerjasama dengan para investor agar dalam kerjasamanya menganut pola kemitraan, bukan sebagai hubungan yang saling menekan dan menghambat? Bukankah pemerintahan berasal dari rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat? Dalam skop ini, lembaga adat harus mendorong agar
pemerintah dan investor harus menganut kerjasama kemitraan dengan masyarakat adat dalam mengembangkan ekomoni kerakyatannya. Bila kerjasama dengan pola itu tidak dibuat maka akan menciptakan ekonomi masyarakat yang labil, tergantung, dan kapitalistik yang hanya menguntungkan kelompok dan orang-orang tertentu. Pelaku bisnis bisa dikatakan besar kalau ia tidak tumbuh besar sendiri. Ia menjadi besar juga kalau sekaligus mengajak orang untuk ikut tumbuh, tidak menikmati keberhasilan dan pertumbuhanya sendiri tanpa peduli sekitar. Apalagi pemilik perusahaan tidak akan bisa lebih maju tanpa bantuan dan dukungan dari masyarakat luas. Dengan system kemitraan, setiap orang diajak juga mengurangi resiko dan biaya perusahaan, karena semua saling mendukung dan saling menopang. Hal semacam itu telah dilakukan oleh berbagai perusahaan besar, katakanlah seperti perusahaan perkebunan di Malaysia, dimana hak Tanah Masyarakat di jadikan sebagai saham dalam perusahaan. PT. TELKOMSEL yang mulai menyerahkan pusat-pusat pelayanan kepada mitra, dengan pola Franchising, dan demikian juga seperti terjadi di jawa, rata-rata indusrti besar melibatkan usaha kecil sekitar perusahan dalam proses produksi sehingga terjadi pola kemitraan bapak angkat.
Pola Kemitraan adalah pola kerjasama usaha yang saling membutuhkan, menguntungkan dan saling menguatkan secara berkesinambungan. Dalam hal ini, pengembangan pola kemitraan yang melibatkan pemerintah, swasta, dalam hal ini investor dan masyarakat sudah saatnya dilakukan dan dilaksanakan. Pada pola kemitraan itu juga, para petani dalam hal ini masyarakat adat setempat, diajak turut bertanggungjawab dalam kegiatan on-farm suatu perusahan perkebunan misalnya, antara lain terlibat langsung dalam penyediaan lahan, penerapan teknologi budidaya yang dianjurkan dan menjual hasilnya keperusahan induk sebagai mitra kerja yang mengayomi dan memberikan modal usaha.
Yang penting adalah komitmen, baik
pemerintah maupun masyarakat adat, terutama dari pihak investor. Ini sebenarnya yang disebut building proses. Hal ini membutuhkan waktu sehingga komitmen ini tidak datang dengan tiba-tiba, tetapi harus dipersiapkan dengan baik (Good Preparation). Yang penting adalah komitmen antara masyarakat, pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah. Jangan sampai akses ini juga digunakan untuk hal-hal lain. Pengalaman menunjukan banyak pihak yang mengatas namakan kepentingan
masyarakat adat, tetapi bukan untuk kepentingan masyarakat adat. Malah hanya mengutungkan kelompok dan orang-orang tertentu. Untuk itu dibutuhkan peran dan pendampingan Lembaga Adat agar pola-pola yang ada ,berpihak kepada masyarakat adat.
Lalu, moitivasi apa yang dapat diperankan oleh lembaga adat dibalik pola kemitraan yang harus dianut oleh investor?
Motivasi utama itu adalah meningkatkan taraf hidup social ekonomi
masyarakat adat. Selama ini masyarakat adat menjadi masyarakat yang disingkirkan. Maraknya illegal logging meng-indikasikan bahwa mereka tidak merasakan buat apa sumber daya hutan itu, tidak ada efeknya bagi mereka. Operasi mendadak dan sangat rahasia oleh Tim Operasi Pengamanan Hutan Fungsional yang dilakukan 28 Juni 2002, dan hanya berlangsung selama 2,5 jam (05.00 s.d. 07.30) berhasil menagkap basah 15 unit truk kayu bermuatan kayu olahan yang akan diselundupkan ke Malaysia. Sementara data, pada tahun 2002 berdasarkan penafsiran citra satelit, di Kal-Bar tidak kurang terdapat 33 jalur darat yang bisa dilalui untuk menyeberangkan kayu ke Malaysia. Salah satu jaur resmi yang banyak dilalui secara formal adalah PPLB Entikong, sedangkan 32 jalur lainya merupakan jalur yang relative jauh dari pengawasan. Akibatnya, Negara dirugikan dalam bentuk daya Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) Rp. 64.000/M3, Dana Reboisasi (DR) US $ 16/M3 dan Pajak Ekspor (PE) Rp. 160.000. Bila dihitung basaran kerugian per M3 sebesar Rp. 364 Ribu, maka per bulan kerugian Negara di Kal-Bar dari Jalur darat sebesar Rp. 182 Milyar. Selain itu banyak PETI (Pertambangan Emas Liar, seperti di Monterado dan sekitarnya) dan hampir disemua Kabupaten terdapat PETI, namun masyarakat yang kebanyakan buruh tidak ikut sejahtera. Oleh Karena itu
lembaga adat harus mampu menjadi media informasi dan pendamping agar masyarakat mampu mengelola hutan dan lahanya sendiri secara terpadu dan bila ada investor yang berminat maka pola kemitraan harus diterapkan secara efisien. Dengan demikian, meraka mampu melaksanakan prinsip pengelolaan hutan lestari dan juga mampu bersaing. Ini merupakan tanggung jawab kita semua lebih-lebih lembaga adat yang berada lebih dekat dengan masyarakat adatnya.
Dalam meningkatkan potensi social ekonomi masyarakat adat, perlu juga kita kaji bersama Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual dan masyarakat adat. Hal itu penting karena pemahaman yang beragam tentang masyarakat adat di Indonesia dan pandangan yang merendahkan terhadap mereka membuat kita alpa untuk menggali potensi-potensi yang termuat didiri
masyarakat adat itu. Salah satu potensi mereka yang bisa digarap untuk pengembangan ekonomi adalah ketrampilan dan pemahaman (traditional knowledges) mereka akan seni, termasuk tari-tarian, lagu-lagu, ukir-ukiran, tenunan, lukisan (motif), pengetahuan pemulihan tanaman dan pengetahuan tentang obat-obatan. Sementara pemahaman masyarakat adat akan khasiat tumbuhan obat-obatan masih dihargai rendah (under value) oleh masyarakat luas, bahkan oleh kebijakan pemerintah. Padahal dari sekitar 230 juta penduduk Indonesia ini hanya 10-20 % persen saja yang bisa dilayani oleh Rumah Sakit, Pusat-pusat Kesehatan Mayarakat, maupun Obat-obatan mutakhir lainya, sisanya masyarakatlah yang memelihara kesehatan mereka lewat jamu-jamuan dan obat-obatan tradisional. Jika pengetahuan mereka akan tumbuhan obat-obatan dikembangkan melalui perlindungan hak eksekutif, tentunya akan memberi semangat kepada mereka untuk tetap mempertahankan – bahkan meningkatkan – pengetahuan itu. Pada tataran lain jika kita berbicara soal pengetahuan masyarakat adat di bidang sumber-sumber tanaman (plant resources), ini menyangkut plasma nutfah (germplasm) dan pengetahuan petani tentang tumbuhan domestic, serta produk-produk natural yang dihasilkan tanaman alam dan pengetahuan tentang tanaman dan produk-produknya (Brush : 1996). Masih pula dihargai rendah bahkan tidak dapat perlindungan yang layak.
Lalu apa saja yang dapat dilakukan
Lembaga Adat Dayak dalam mengaktualisasikan perannya?
- Lembaga Adat harus mampu menjadi mediator dan komunikator agar Investor tetap menganut system kemitraan, dimana masyarakat diikut sertakan dalam membuka perkebunan yang berada disekitar areal induk perusahaan. Masyarakat diberi forsi yang proporsional dan adil untuk ikut terlibat secara penuh dan transparan dalam melakukan kerjasama, sesuai kemampuannya masing-masing.
- Lembaga adat mendorong Pemerintah bekerja sama dengan investor memberdayakan ekonomi masyarakat adat, dengan:
- Investor menyediakan permodalan dan managemen.
- Masyarakat Adat akan memperoleh Saham atas lahan yang mereka miliki pada saat kebun sudah menghasilkan.
- Masyarakat setempat selain memperoleh saham, juga akan memperoleh Upah/Gaji apabila bekerja di perusahaan.
- Dalam mengembangkan kemampuan, pengetahuan dan ketrampilan masyarakat, maka Perusahan akan menurunkan tenaga-tenaga ahli sebagai mitra masyarakat yang akan memberikan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat tentang bagaimana mengelola, membangun dan pekebunan yang dimilikinya, dengan baik dan benar.
- Pengaturan pembagian saham(pemasaran hasil perkebunan) akan diatur oleh sebuah koperasi yang dibentuk dan dikelola sendiri oleh masyarakat. Aturannya dibuat oleh masyarakat. Lewat koperasi inilah masyarakat memperoleh hasil/sahamnya. Koperasi juga akan meng-handle keperluan dan kebutuhan masyarakat.
Lebih jauh lagi, pemerintah dan investor perlu melakukan perlindungan terhadap pengetahuan dan karya mereka, salah satu caranya adalah dengan memberikan hak kekayaan intelektual (HAKI) atas pengetahuan dan buah karya mereka, dalam hal ini termasuk lahan dan hasil-hasil perkebunan mereka. Namun, ide ini memerlukan waktu yang panjang untuk diterapkan;
pertama, karena hukum nasional kita belum mendukung. Seperti belum ada yang mengakomodir apakah sekelompok kekerabatan bisa memperoleh hak cipta dan hak paten / tidak ada pengakuan bahwa pengetahuan tradisional dianggap sebagai temuan sehingga bisa menjadi objek hak cipta dan hak paten. Kedua, karena belum ada kesepakatan diantara aktivis pro masyarakat adat mengenai HAKI ini. Para aktivis pro masyarakat adat masih ambigu apakah perlu untuk memperjuangkan HAKI bagi masyarakat adat atau tidak. Pandangan bahwa HAKI adalah bagian dari system kapitalis yang menegaskan prinsip religo magis yang banyak dianut masyarakat adat, serta bersifat individual karena hanya memberikan hak pada seseorang atau sekelompok orang, bertentangan dengan sifat masyarakat adat yang lebih menonjolkan kebersamaan. Pendekatan kapitalis dan individual tersebut dianggap tidak selaras dengan jiwa masyarakat adat.
Sebagai contoh sederhana, di Indonesia sendiri belum ada pihak yang khusus mendalami aspek hukum HAKI bagi masyarakat adat. UU tentang HAKI sama sekali tidak mengatur hal diatas. Dari beberapa survei awal, HAKI lebih berkembang untuk melindungi hak cipta dibidang musik (dengan adanya yayasan karya cipta Indonesia = YKCI yang memperjuangkan hak cipta pemusik), sementara hak-hak cipta bagi penulis, perupa, pemahat, maupun pelukis masih jauh dari yang diharapkan. Terbentuknya YKCI dan disusul dengan berdirinya masyarakat HAKI sebenarnya membuka peluang perdebatan tentang HAKI namun isu HAKI bagi masyarakat adat belum pernah muncul kepermukaan. Sementara para pengacara / ahli hukum yang mendalami HAKI, tentu saja lebih memikirkan hak paten dan hak cipta merek-merek dagang terkenal. Pendek kata, berbicara tentang masyarakat adat masih belum mencapai platform bersama, apalagi berbicara tentang HAKI bagi masyarakat adat dianggap bukan isu sentral. Padahal justifikasi kearah sana sangat sahih, Konvensi Keanekaragaman Hayati (Biodifersity Connvention) yang telah diratifikasi melalui UU no. 5 tahun 1994 mengaku tentang masyarakat adat yang berhubung dengan keanekaragaman hayati, Konvensi ILO 169 mengaku hak kolektif dan hukum kebiasaan masyarakat adat (yang sayangnya belum diratifikasi oleh Indonesia). Sementara arus globalisasi - perlahan tapi pasti – akan terus melaju, salah satu yang terus berkembang adalah persetujuan TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Propery Rights) yang disepakati dalam Putaran Uruguai 1993.
Pada tataran yang sama, potensi
social ekonomi Masyarakat adat Indonesia belum seluruhnya tergali dan dimaksimalkan dengan baik. Sangat disayangkan bahwa belum ada data statistic yang mendukung tentang potensi dan jumlah mereka. Namun jika kita berpatokan bahwa umumnya Masyarakat adat adalah masyarakat pedesaan, maka angka itu bisa mencapai 80 % penduduk Indonesia atau 184 juta jiwa. Potensi ini bukanlah kecil. Potensi dalam jumlah yang sangat besar ini kalau diberdayakan akan menghasilkan gebrakan pengembangan social ekonomi mayarakat adat yang maha dasyat. Tinggal kita menyiapkan kunci pembuka pintu kemitraan dengan mengundang masuknya investor luar atau domestic yang bisa diajak kerjasama membangun suatu kemitraan yang saling membangun.
Kedepan
Adat Istiadat, Hukum Adat dan lembaga adat Dayak diharapkan mampu perperan sebagai pelaku atau subjek dan alat (tools) dalam mempertahankan dan memperkokoh eksistensi harkat dan martabat Dayak, disegala bidang khususnya ekonomi dan pembangunan daerah, sekaligus berperan sebagai mitra “Pemerintah dan hukum nasional” dalam pembangunan.
Lembaga adat perlu lebih pro aktif mengajak semua fihak untuk membuka wacana berfikir tentang perlunya memaksimalkan ekonomi masyarakat adat lewat usaha kemitraan yang didalamnya mengutamakan peran serta (partisipatory) masyarakat dalam membangun perekonomiannya. Yang pada akhirnya diarahkan untuk memperkuat ketahanan ekonomi Nasional Bangsa dan Negara yang tercinta ini.
Lembaga Adat sebagai Motivator: “Kemitraan sebagai Satu System yang Efektif dan Efisien dalam Berinvestasi”
Oleh: Drs. Yakobus Kumis
Salah satu upaya untuk mencapai efekitivitas dan efesiensi tampaknya bisa dilakukan oleh
Lembaga Adat dalam perannya sebagai pengerak, komunikator dan Motivator bagi masyarakat adat dengan para investor.
Lembaga Adat harus menekankan bahwa investor harus menempatkan dan memposisikan masyarakat adat sebagai mitra wajib perusahaan, bukan sebagai sapi perah yang ditindas. Dengan demikian, keseluruhan inisiatif, proses, pembiayaan, pengawasan dan penilaian atas operasional perusahaan dilakukan antar investor dan masyarakat adat itu sendiri sehingga Negara terbebas dari beban yang tidak perlu, sementara masyarakat adat dididik untuk mandiri dan terbebas dari kepentingan politik Negara dan perangkatnya sebagai omnicompetent institusion. System yang menganut Pola kemitraan, diyakini memberikan hasil yang sangat luar biasa baik. Selain menguntungkan pihak perusahaan dan bertambahnya kas daerah, juga terutama ekonomi masyarakat dapat ditingkatkan.
Sebagai sebuah pola baru yang harus dianut oleh investor, system kemitraan dengan
masyarakat adat tersebut akan membentuk watak, mendidik demokrasi ekonomi dalam membangun bangsa kita ini. Bersediakan pemerintah bekerjasama dengan para investor agar dalam kerjasamanya menganut pola kemitraan, bukan sebagai hubungan yang saling menekan dan menghambat? Bukankah pemerintahan berasal dari rakyat dan untuk kesejahteraan rakyat? Dalam skop ini, lembaga adat harus mendorong agar
pemerintah dan investor harus menganut kerjasama kemitraan dengan masyarakat adat dalam mengembangkan ekomoni kerakyatannya. Bila kerjasama dengan pola itu tidak dibuat maka akan menciptakan ekonomi masyarakat yang labil, tergantung, dan kapitalistik yang hanya menguntungkan kelompok dan orang-orang tertentu. Pelaku bisnis bisa dikatakan besar kalau ia tidak tumbuh besar sendiri. Ia menjadi besar juga kalau sekaligus mengajak orang untuk ikut tumbuh, tidak menikmati keberhasilan dan pertumbuhanya sendiri tanpa peduli sekitar. Apalagi pemilik perusahaan tidak akan bisa lebih maju tanpa bantuan dan dukungan dari masyarakat luas. Dengan system kemitraan, setiap orang diajak juga mengurangi resiko dan biaya perusahaan, karena semua saling mendukung dan saling menopang. Hal semacam itu telah dilakukan oleh berbagai perusahaan besar, katakanlah seperti perusahaan perkebunan di Malaysia, dimana hak Tanah Masyarakat di jadikan sebagai saham dalam perusahaan. PT. TELKOMSEL yang mulai menyerahkan pusat-pusat pelayanan kepada mitra, dengan pola Franchising, dan demikian juga seperti terjadi di jawa, rata-rata indusrti besar melibatkan usaha kecil sekitar perusahan dalam proses produksi sehingga terjadi pola kemitraan bapak angkat.
Pola Kemitraan adalah pola kerjasama usaha yang saling membutuhkan, menguntungkan dan saling menguatkan secara berkesinambungan. Dalam hal ini, pengembangan pola kemitraan yang melibatkan pemerintah, swasta, dalam hal ini investor dan masyarakat sudah saatnya dilakukan dan dilaksanakan. Pada pola kemitraan itu juga, para petani dalam hal ini masyarakat adat setempat, diajak turut bertanggungjawab dalam kegiatan on-farm suatu perusahan perkebunan misalnya, antara lain terlibat langsung dalam penyediaan lahan, penerapan teknologi budidaya yang dianjurkan dan menjual hasilnya keperusahan induk sebagai mitra kerja yang mengayomi dan memberikan modal usaha.
Yang penting adalah komitmen, baik
pemerintah maupun masyarakat adat, terutama dari pihak investor. Ini sebenarnya yang disebut building proses. Hal ini membutuhkan waktu sehingga komitmen ini tidak datang dengan tiba-tiba, tetapi harus dipersiapkan dengan baik (Good Preparation). Yang penting adalah komitmen antara masyarakat, pemerintah pusat dan juga pemerintah daerah. Jangan sampai akses ini juga digunakan untuk hal-hal lain. Pengalaman menunjukan banyak pihak yang mengatas namakan kepentingan
masyarakat adat, tetapi bukan untuk kepentingan masyarakat adat. Malah hanya mengutungkan kelompok dan orang-orang tertentu. Untuk itu dibutuhkan peran dan pendampingan Lembaga Adat agar pola-pola yang ada ,berpihak kepada masyarakat adat.
Lalu, moitivasi apa yang dapat diperankan oleh lembaga adat dibalik pola kemitraan yang harus dianut oleh investor?
Motivasi utama itu adalah meningkatkan taraf hidup social ekonomi
masyarakat adat. Selama ini masyarakat adat menjadi masyarakat yang disingkirkan. Maraknya illegal logging meng-indikasikan bahwa mereka tidak merasakan buat apa sumber daya hutan itu, tidak ada efeknya bagi mereka. Operasi mendadak dan sangat rahasia oleh Tim Operasi Pengamanan Hutan Fungsional yang dilakukan 28 Juni 2002, dan hanya berlangsung selama 2,5 jam (05.00 s.d. 07.30) berhasil menagkap basah 15 unit truk kayu bermuatan kayu olahan yang akan diselundupkan ke Malaysia. Sementara data, pada tahun 2002 berdasarkan penafsiran citra satelit, di Kal-Bar tidak kurang terdapat 33 jalur darat yang bisa dilalui untuk menyeberangkan kayu ke Malaysia. Salah satu jaur resmi yang banyak dilalui secara formal adalah PPLB Entikong, sedangkan 32 jalur lainya merupakan jalur yang relative jauh dari pengawasan. Akibatnya, Negara dirugikan dalam bentuk daya Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) Rp. 64.000/M3, Dana Reboisasi (DR) US $ 16/M3 dan Pajak Ekspor (PE) Rp. 160.000. Bila dihitung basaran kerugian per M3 sebesar Rp. 364 Ribu, maka per bulan kerugian Negara di Kal-Bar dari Jalur darat sebesar Rp. 182 Milyar. Selain itu banyak PETI (Pertambangan Emas Liar, seperti di Monterado dan sekitarnya) dan hampir disemua Kabupaten terdapat PETI, namun masyarakat yang kebanyakan buruh tidak ikut sejahtera. Oleh Karena itu
lembaga adat harus mampu menjadi media informasi dan pendamping agar masyarakat mampu mengelola hutan dan lahanya sendiri secara terpadu dan bila ada investor yang berminat maka pola kemitraan harus diterapkan secara efisien. Dengan demikian, meraka mampu melaksanakan prinsip pengelolaan hutan lestari dan juga mampu bersaing. Ini merupakan tanggung jawab kita semua lebih-lebih lembaga adat yang berada lebih dekat dengan masyarakat adatnya.
Dalam meningkatkan potensi social ekonomi masyarakat adat, perlu juga kita kaji bersama Aspek Hukum Hak Kekayaan Intelektual dan masyarakat adat. Hal itu penting karena pemahaman yang beragam tentang masyarakat adat di Indonesia dan pandangan yang merendahkan terhadap mereka membuat kita alpa untuk menggali potensi-potensi yang termuat didiri
masyarakat adat itu. Salah satu potensi mereka yang bisa digarap untuk pengembangan ekonomi adalah ketrampilan dan pemahaman (traditional knowledges) mereka akan seni, termasuk tari-tarian, lagu-lagu, ukir-ukiran, tenunan, lukisan (motif), pengetahuan pemulihan tanaman dan pengetahuan tentang obat-obatan. Sementara pemahaman masyarakat adat akan khasiat tumbuhan obat-obatan masih dihargai rendah (under value) oleh masyarakat luas, bahkan oleh kebijakan pemerintah. Padahal dari sekitar 230 juta penduduk Indonesia ini hanya 10-20 % persen saja yang bisa dilayani oleh Rumah Sakit, Pusat-pusat Kesehatan Mayarakat, maupun Obat-obatan mutakhir lainya, sisanya masyarakatlah yang memelihara kesehatan mereka lewat jamu-jamuan dan obat-obatan tradisional. Jika pengetahuan mereka akan tumbuhan obat-obatan dikembangkan melalui perlindungan hak eksekutif, tentunya akan memberi semangat kepada mereka untuk tetap mempertahankan – bahkan meningkatkan – pengetahuan itu. Pada tataran lain jika kita berbicara soal pengetahuan masyarakat adat di bidang sumber-sumber tanaman (plant resources), ini menyangkut plasma nutfah (germplasm) dan pengetahuan petani tentang tumbuhan domestic, serta produk-produk natural yang dihasilkan tanaman alam dan pengetahuan tentang tanaman dan produk-produknya (Brush : 1996). Masih pula dihargai rendah bahkan tidak dapat perlindungan yang layak.
Lalu apa saja yang dapat dilakukan
Lembaga Adat Dayak dalam mengaktualisasikan perannya?
- Lembaga Adat harus mampu menjadi mediator dan komunikator agar Investor tetap menganut system kemitraan, dimana masyarakat diikut sertakan dalam membuka perkebunan yang berada disekitar areal induk perusahaan. Masyarakat diberi forsi yang proporsional dan adil untuk ikut terlibat secara penuh dan transparan dalam melakukan kerjasama, sesuai kemampuannya masing-masing.
- Lembaga adat mendorong Pemerintah bekerja sama dengan investor memberdayakan ekonomi masyarakat adat, dengan:
- Investor menyediakan permodalan dan managemen.
- Masyarakat Adat akan memperoleh Saham atas lahan yang mereka miliki pada saat kebun sudah menghasilkan.
- Masyarakat setempat selain memperoleh saham, juga akan memperoleh Upah/Gaji apabila bekerja di perusahaan.
- Dalam mengembangkan kemampuan, pengetahuan dan ketrampilan masyarakat, maka Perusahan akan menurunkan tenaga-tenaga ahli sebagai mitra masyarakat yang akan memberikan pendidikan dan pelatihan bagi masyarakat tentang bagaimana mengelola, membangun dan pekebunan yang dimilikinya, dengan baik dan benar.
- Pengaturan pembagian saham(pemasaran hasil perkebunan) akan diatur oleh sebuah koperasi yang dibentuk dan dikelola sendiri oleh masyarakat. Aturannya dibuat oleh masyarakat. Lewat koperasi inilah masyarakat memperoleh hasil/sahamnya. Koperasi juga akan meng-handle keperluan dan kebutuhan masyarakat.
Lebih jauh lagi, pemerintah dan investor perlu melakukan perlindungan terhadap pengetahuan dan karya mereka, salah satu caranya adalah dengan memberikan hak kekayaan intelektual (HAKI) atas pengetahuan dan buah karya mereka, dalam hal ini termasuk lahan dan hasil-hasil perkebunan mereka. Namun, ide ini memerlukan waktu yang panjang untuk diterapkan;
pertama, karena hukum nasional kita belum mendukung. Seperti belum ada yang mengakomodir apakah sekelompok kekerabatan bisa memperoleh hak cipta dan hak paten / tidak ada pengakuan bahwa pengetahuan tradisional dianggap sebagai temuan sehingga bisa menjadi objek hak cipta dan hak paten. Kedua, karena belum ada kesepakatan diantara aktivis pro masyarakat adat mengenai HAKI ini. Para aktivis pro masyarakat adat masih ambigu apakah perlu untuk memperjuangkan HAKI bagi masyarakat adat atau tidak. Pandangan bahwa HAKI adalah bagian dari system kapitalis yang menegaskan prinsip religo magis yang banyak dianut masyarakat adat, serta bersifat individual karena hanya memberikan hak pada seseorang atau sekelompok orang, bertentangan dengan sifat masyarakat adat yang lebih menonjolkan kebersamaan. Pendekatan kapitalis dan individual tersebut dianggap tidak selaras dengan jiwa masyarakat adat.
Sebagai contoh sederhana, di Indonesia sendiri belum ada pihak yang khusus mendalami aspek hukum HAKI bagi masyarakat adat. UU tentang HAKI sama sekali tidak mengatur hal diatas. Dari beberapa survei awal, HAKI lebih berkembang untuk melindungi hak cipta dibidang musik (dengan adanya yayasan karya cipta Indonesia = YKCI yang memperjuangkan hak cipta pemusik), sementara hak-hak cipta bagi penulis, perupa, pemahat, maupun pelukis masih jauh dari yang diharapkan. Terbentuknya YKCI dan disusul dengan berdirinya masyarakat HAKI sebenarnya membuka peluang perdebatan tentang HAKI namun isu HAKI bagi masyarakat adat belum pernah muncul kepermukaan. Sementara para pengacara / ahli hukum yang mendalami HAKI, tentu saja lebih memikirkan hak paten dan hak cipta merek-merek dagang terkenal. Pendek kata, berbicara tentang masyarakat adat masih belum mencapai platform bersama, apalagi berbicara tentang HAKI bagi masyarakat adat dianggap bukan isu sentral. Padahal justifikasi kearah sana sangat sahih, Konvensi Keanekaragaman Hayati (Biodifersity Connvention) yang telah diratifikasi melalui UU no. 5 tahun 1994 mengaku tentang masyarakat adat yang berhubung dengan keanekaragaman hayati, Konvensi ILO 169 mengaku hak kolektif dan hukum kebiasaan masyarakat adat (yang sayangnya belum diratifikasi oleh Indonesia). Sementara arus globalisasi - perlahan tapi pasti – akan terus melaju, salah satu yang terus berkembang adalah persetujuan TRIPS (Trade Related Aspects of Intellectual Propery Rights) yang disepakati dalam Putaran Uruguai 1993.
Pada tataran yang sama, potensi
social ekonomi Masyarakat adat Indonesia belum seluruhnya tergali dan dimaksimalkan dengan baik. Sangat disayangkan bahwa belum ada data statistic yang mendukung tentang potensi dan jumlah mereka. Namun jika kita berpatokan bahwa umumnya Masyarakat adat adalah masyarakat pedesaan, maka angka itu bisa mencapai 80 % penduduk Indonesia atau 184 juta jiwa. Potensi ini bukanlah kecil. Potensi dalam jumlah yang sangat besar ini kalau diberdayakan akan menghasilkan gebrakan pengembangan social ekonomi mayarakat adat yang maha dasyat. Tinggal kita menyiapkan kunci pembuka pintu kemitraan dengan mengundang masuknya investor luar atau domestic yang bisa diajak kerjasama membangun suatu kemitraan yang saling membangun.
Kedepan
Adat Istiadat, Hukum Adat dan lembaga adat Dayak diharapkan mampu perperan sebagai pelaku atau subjek dan alat (tools) dalam mempertahankan dan memperkokoh eksistensi harkat dan martabat Dayak, disegala bidang khususnya ekonomi dan pembangunan daerah, sekaligus berperan sebagai mitra “Pemerintah dan hukum nasional” dalam pembangunan.
Lembaga adat perlu lebih pro aktif mengajak semua fihak untuk membuka wacana berfikir tentang perlunya memaksimalkan ekonomi masyarakat adat lewat usaha kemitraan yang didalamnya mengutamakan peran serta (partisipatory) masyarakat dalam membangun perekonomiannya. Yang pada akhirnya diarahkan untuk memperkuat ketahanan ekonomi Nasional Bangsa dan Negara yang tercinta ini.
Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata. Blog ini berisi konten adat dan budaya Dayak Kalimantan Barat. Semoga apa yang saya bagikan dapat menjadi sumbangan pengetahuan bagi kita semua. Saya juga mengharap kritik dan saran yang membangun bagi pengetahuan saya sebagai praktisi adat. Salam Budaya.