Pola-pola Perkebunan Yang Ada Dalam Masyarakat
Oleh: Drs. Yakobus Kumis
Menyikapi sikap
masyarakat adat itu, ada dua kriteri untuk menilai system dan pola yang dianut oleh perusahaan yang menanamkan modalnya. Pertama, pola Kapitalis. Kedua, Pola Kemitraan. Pola pertama sering dipakai oleh pengusaha atau infestor yang ingin memperkaya diri, tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat setempat. Masyarakat setempat hanya berfungsi sebagai buruh-buruh perusahaan yang tergantung dan tidak punya akses apa-apa atas kebijakan perusahan. Masyarakat adatpun kurang dihargai, malah perusahaan menjadikan Masyarakat adat sebagai penghalang usahanya. Keterlibatan masyarakat dalam perusahaan sangat minim bahkan tidak ada.
Berbeda dengan pola kedua, yakni
Pola Kemitraan (Partnership Pattern), yang
melibatkan masyarakat (including the society in investment) dalam proses produksi, distribusi, dan kebijakan perusahan dalam posisi dan porsi yang proporsional. Pola kerjasama yang menganut
Pola Kemitraan (Partnership Pattern) tersebut diyakini akan dapat menguntungkan semua pihak yang terlibat dalam suatu economic-cycle (lingkaran produksi ekonomi). Dengannya,
masyarakat adat merasa lebih memiliki perusahaan dan perusahaan bukan menjadi bos bagi buruh-buruh perusahaan, tetapi sebagai mitra yang saling memperhatikan. Adakah perusahaan perkebunan atau pertambangan yang menawarkan pola seperti ini bagi Masyarakat adat ? bila ada, mengapa tidak segera diwujutkan kesempatan baik tersebut? Ataukah Masyarakat adat tetap bersikap apriori dan menolak semua perusahaan dan infestor yang akan masuk untuk berinvestasi.
Pola yang ditawarkan dalam membangun perspektif dan orientasi yang baru ini adalah dengan memfokuskan kepada pembangunan
social ekonomi Masyarakat adat. Jelas pertama-tama perlu disampaikan bahwa pengertian “social” tidak dimaksudkan sebagai suatu substansi yang berbeda dengan ekonomi yang pada dasarnya juga memperhatikan segi-segi kehidupan masyarakat. “Sosial” dalam pengertian ini lebih dimasudkan sebagai perspektif global atau holistic yang menekankan kepada keseluruhan masyarakat manusia (civil society) di mana ekonomi hanya merupakan salah satu aspek pengamatan terhadap realitas social itu sendiri.
Fokus bukanlah capital atau uang atau keuntungan melainkan kehidupan manusia atau masyarakat manusia itu sendiri. Focus seperti itu pada umumnya bisa direalisasikan dalam system ekonomi kemitraan, dimana setiap hak-hak setiap pelaku ekonomi, termasuk
masyarakat akar rumput (masyarakat paling bawah dan kaum marginal) dilindungi dan diberi prioritas yang adil dan demokratis. Untuk menciptakan system ekonomi kemitraan tersebut, para infestor membutuhkan pemerintahan yang baik dan cerdas, yang bisa diajak bekerja sama dalam meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan
Masyarakat adat. Untuk itu dalam hal ini, perlu sekali ditekankan pada sebuah paradigm baru menuju ke pemerintahan yang baik.
Pola-pola Perkebunan Yang Ada Dalam Masyarakat
Oleh: Drs. Yakobus Kumis
Menyikapi sikap
masyarakat adat itu, ada dua kriteri untuk menilai system dan pola yang dianut oleh perusahaan yang menanamkan modalnya. Pertama, pola Kapitalis. Kedua, Pola Kemitraan. Pola pertama sering dipakai oleh pengusaha atau infestor yang ingin memperkaya diri, tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat setempat. Masyarakat setempat hanya berfungsi sebagai buruh-buruh perusahaan yang tergantung dan tidak punya akses apa-apa atas kebijakan perusahan. Masyarakat adatpun kurang dihargai, malah perusahaan menjadikan Masyarakat adat sebagai penghalang usahanya. Keterlibatan masyarakat dalam perusahaan sangat minim bahkan tidak ada.
Berbeda dengan pola kedua, yakni
Pola Kemitraan (Partnership Pattern), yang
melibatkan masyarakat (including the society in investment) dalam proses produksi, distribusi, dan kebijakan perusahan dalam posisi dan porsi yang proporsional. Pola kerjasama yang menganut
Pola Kemitraan (Partnership Pattern) tersebut diyakini akan dapat menguntungkan semua pihak yang terlibat dalam suatu economic-cycle (lingkaran produksi ekonomi). Dengannya,
masyarakat adat merasa lebih memiliki perusahaan dan perusahaan bukan menjadi bos bagi buruh-buruh perusahaan, tetapi sebagai mitra yang saling memperhatikan. Adakah perusahaan perkebunan atau pertambangan yang menawarkan pola seperti ini bagi Masyarakat adat ? bila ada, mengapa tidak segera diwujutkan kesempatan baik tersebut? Ataukah Masyarakat adat tetap bersikap apriori dan menolak semua perusahaan dan infestor yang akan masuk untuk berinvestasi.
Pola yang ditawarkan dalam membangun perspektif dan orientasi yang baru ini adalah dengan memfokuskan kepada pembangunan
social ekonomi Masyarakat adat. Jelas pertama-tama perlu disampaikan bahwa pengertian “social” tidak dimaksudkan sebagai suatu substansi yang berbeda dengan ekonomi yang pada dasarnya juga memperhatikan segi-segi kehidupan masyarakat. “Sosial” dalam pengertian ini lebih dimasudkan sebagai perspektif global atau holistic yang menekankan kepada keseluruhan masyarakat manusia (civil society) di mana ekonomi hanya merupakan salah satu aspek pengamatan terhadap realitas social itu sendiri.
Fokus bukanlah capital atau uang atau keuntungan melainkan kehidupan manusia atau masyarakat manusia itu sendiri. Focus seperti itu pada umumnya bisa direalisasikan dalam system ekonomi kemitraan, dimana setiap hak-hak setiap pelaku ekonomi, termasuk
masyarakat akar rumput (masyarakat paling bawah dan kaum marginal) dilindungi dan diberi prioritas yang adil dan demokratis. Untuk menciptakan system ekonomi kemitraan tersebut, para infestor membutuhkan pemerintahan yang baik dan cerdas, yang bisa diajak bekerja sama dalam meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan
Masyarakat adat. Untuk itu dalam hal ini, perlu sekali ditekankan pada sebuah paradigm baru menuju ke pemerintahan yang baik.
Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata. Blog ini berisi konten adat dan budaya Dayak Kalimantan Barat. Semoga apa yang saya bagikan dapat menjadi sumbangan pengetahuan bagi kita semua. Saya juga mengharap kritik dan saran yang membangun bagi pengetahuan saya sebagai praktisi adat. Salam Budaya.