PEMANGKU ADAT DAYAK TIMANGGONG/ DOMONG/ KEPALA ADAT DAYAK ATAU SEBUTAN LAINNYA SE KALIMANTAN BARAT (3)
C. DASAR FORMAL BERLAKUNYA HUKUM ADAT
Masyarakat adat, Hukum Adat, fungsionaris adat serta hak-hak tradisionalnya sudah ada jauh sebelum lahirnya negara, namun demikian setelah ada negara sangat baik kalau secara formal ada pengaturannya dalam Peraturan Perundangan untuk menjadi dasar pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara dan kebijakan pemerintah. Dasar hukum formal berlakunya
Hukum Adat di Indonesia antara lain adalah:
HUKUM FORMAL | ISI/ URAIAN |
UUD 1945 (Sebelum Perubahan): Pada bagian Penjelasan Umum I | UUD sutau Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. UUD ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan di sampingnya UUD itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbuldan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis. |
Tap. MPR no. IX/2001, Pasal 4 j: | Salah satu prinsip dalam pembaruan agraria dan pengelolaan sumber Dayak alam yang harus dilaksanakan adalah mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber Daya agraria/ sumber Dayak alam. |
UU No. 5/1960 (UUPA): Pasal 3 dan Pasal 5 | Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat. Sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang besandar pada hukum agama. |
UU No. 39/1999 ttg HAM: Pasal 6 Ayat 1 dan Pasal 6 Ayat 2 | Dalam rangka penegakkan HAM, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat Hukum Adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan Pemerintah. Identitas budaya masyarakat Hukum Adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. |
UU No. 32/2004: tentang Pemda Pasal 203 ayat 3 dan Pasal 216 ayat 2 | Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan Masyarakat hukum Adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan Hukum Adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada PP. Perda, sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib mengakui dan menghormati hak, asal-usul, dan adat istiadat Desa. |
Peraturan Mendagri No. 3/1997 | Tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat-Istiadat, Kebiasaan-Kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah. |
Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala BPN No. 5/1999 | Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. |
ILO/Organisasi Buruh Internasional: | Keberadaan Masyarakat Adat, Hukum Adat dan Hak Ulayat diakui dan dihormati dalam Konvensi Mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka, yaitu Konvensi ILO No.169 yang disahkan Juni 1989 oleh International Labour Organization (ILO). |
Hasil Kongres Pemuda 1928 | Selain melahirkan Sumpah Pemuda, juga sepakat bahwa Hukum Adat merupakan salah satu dasar persatuan bangsa Indonesia; Dasar persatuan yang lain adalah Kemauan, Sejarah, Bahasa, Kependidikan dan Kepanduan. |
D. LAMBANG DAN MAKNA PERADILAN ADAT
- Gantang : Adalah alat takaran yang terbuat dari kayu/ kulit kayu, yang melambangkan sejauhmana kebenaran dan kesalahan seseorang.
- Pamipis : adalah alat untuk memipis/menakar yang terbuat dari kayu, yang melambangkan Keputusan yang Adil
- Segi Lima : Melambangkan bahwa dalam kehidupan Manusia Dayak terkandung lima asfek yaitu:
- Adat Istiadat
- Peraga Adat
- Bahasa Adat
- Kesenian dan Cerita Adat
- Hak Tanah Adat/Hutan Adat
- Kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata, artinya: bahwa dalam peradilan kita harus bersikap adil, jujur tidak diskriminatif terhadap sesama manusia, dengan mengedepankan perbuatan baik seperti surga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Lambang Peradilan adat ini juga digunakan sebagai Kop Surat untuk Timanggong/Domong/Kepala Adat Dayak atau sebutan lainnya yang ada di Kalimantan Barat.
E. MAKSUD DAN TUJUAN PERADILAN ADAT
- Maksud diciptakannya Hukum Adat adalah sebagai pedoman bagi masyarakat adat dalam mengatur perilaku kehidupan sehari-hari agar tidak terjadi kesalahan dalam bertindak yang merugikan orang lain.
- Hukum Adat di mana saja diciptakan manusia (talino) bukan hanya berfungsi untuk menghukum saja, tetapi lebih dari pada itu, yakni untuk membina, dan mendidik seseorang agar menjadi manusia yang beradat, berbudaya yang baik, bermoral, bertaqwa, jujur, adil dan berdisiplin.
F. STRUKTUR PERADILAN ADAT DAYAK
Suku bangsa Dayak merupakan suku bangsa yang memiliki Jumlah sub suku terbesar di Indonesia, dengan bahasa dan adat yang berbeda. Walaupu terdapat perbedaan, namun memiliki kesamaan dalam hal pemberlakuan hukum adat, yakni sama-sama masih kental dan kuat menjalankan adat dan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini semakin diperkuat dengan adanya lembaga adat Dayak yang mulai tertata dari tingkat nasional hingga ketingkat masyarakat yang lebih kecil, seperti sruktur berikut ini.
G. KETENTUAN DAN PEDOMAN DALAM PELETAKAN SANKSI HUKUM ADAT
1. Ketentuan dalam Peletakan Sanksi Hukum Adat
- Kejahatan dan pelanggaran adat tidak dapat dikenai sanksi adat apabila Nama, Identitas dan Alamat tempat tinggal tersangka tidak jelas.
- Ketentuan Hukum Adat di Kalimantan Barat ditetapkan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan tindak kejahatan dan pelanggaran adat dalam masyarakat, baik yang berhubungan dengan masyarakat adat maupun lingkungannya. Semua orang sama diperlakukan di muka hukum, patuh, tunduk dan menghormati hukum adat dengan selalu berpegang ”Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung”.
- Sanksi Adat/Hukum Adat yang diberlakukan kepada seseorang diluar suku Dayak bukan untuk menghukum Sukunya tetapi yang disanksi adalah tindakan/perbuatannya yang salah, yang melanggar adat/hukum adat.
- Pemberlakuan Hukum Adat harus didasarkan pada azas kepatutan dan keselarasan, sehingga terciptanya ketenangan, kedamaian, keharmonisan, kebenaran dan keadilan dalam masyarakat.
- Dalam menyelesaikan kasus perkara adat/hukum adat harus dilakukan oleh mereka yang benar-benar sebagai Pemangku Adat/Praktisi hukum adat seperti: Timanggong/Domong/Kepala Adat atau Pasirah/Pangaraga atau istilah lainnya. Di luar fungsionaris/praktisi hukum adat dilarang keras mengatur atau menjatuhkan sanksi hukum adat terhadap siapapun.
- Pengurus Dewan Adat Dayak tidak dibenarkan menjatuhkan sanksi hukum adat, kecuali yang bersangkutan merangkap sebagai Timanggong/Domong/Kepala Adat atau sebutan lainnya.
- Seseorang yang bukan kewenangannya mengatur/manjatuhkan sanksi hukum adat dapat dikenai sanksi Hukum Adat.
- Setiap Sanksi/Hukum adat yang sudah di bayar oleh terdakwa kepada penuntut melalui Pemangku Adat/praktisi hukum adat wajib diselenggarakan penyerahan Adatnya melalui Upacara Penyelesaian Hukum Adat (Munuh Adat), yang dihadiri oleh kedua belah pihak yakni terdakwa dan penuntut beserta ahli warisnya, pengurus dewan adat dan Pemangku Adat/praktisi hukum adat.
- Pelaksanaan Penyelesaian/Munuh adat dapat dilaksanakan di beberapa tempat sesuai dengan atauran dan kebiasaan masyarakat adat setempat, seperti:
- Rumah Adat/Balai Adat
- Rumah Pemangku Adat/Praktisi Hukum Adat
- Rumah Penuntut
- Balai Pertemuan yang ada di wilayah hukum adatnya
- Rumah/tempat yang wajar dan sesuai dengan tatanan adat istiadat setempat.
- Mengingat suku Dayak terdiri dari sub suku-sub suku memiliki beragam adat istiadat dan Hukum Adat, maka Hukum Adat yang dipakai dalam menjatuhkan sanksi adat adalah:
- Jika Penuntut dan terdakwa adalah suku Dayak, maka Hukum Adat yang digunakan adalah hukum adat Sub Suku Penuntut.
- Jika Penuntut dari suku Dayak dan terdakwa dari Non suku Dayak, maka Hukum Adat yang digunakan adalah hukum adat Sub Suku Penuntut.
- Jika Penuntut dari suku non Dayak dan terdakwa dari suku Dayak, maka Hukum Adat yang digunakan adalah hukum adat Sub Suku terdakwa.
- Pemangku Adat/Praktisi Hukum Adat yang mengurus dan menjatuhkan sanksi adat ditempat lain atau daerah lain yang bukan wilayah hukumnya, harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan Dewan Adat atau fungsionaris/praktisi hukum adat setempat. Atau memberikan kuasa atau mandat atau pelimpahan kepada fungsionaris/praktisi hukum adat setempat.
- Hukum adat/Sanksi adat yang sudah diputuskan oleh fungsionaris/praktisi hukum adat dan sudah disepakati oleh kedua belah pihak (penuntut dan terdakwa) serta ahli warisnya, tidak dapat diganggu gugat kembali.
- Dalam melakukan proses pengurusan perkara adat/hukum adat disarankan agar setiap Pemangku Adat/Praktisi Hukum Adat seperti Timanggong/Domong/ Kepala Adat (Pasirah, Pangaraga) atau sebutan lainnya, menyediakan perangkat administrasi atau blangko seperti:
- Surat Pengaduan/laporan perkara yang di isi oleh Pelapor/Penuntut
- Surat Pernyataan bersedia Menyelesaikan perkara dengan hukum adat dan membayar sanksi adat, yang di isi oleh terdakwa.
- Berita acara Penyelesaian Perkara.
- Surat Pernyataan Damai antara Penuntut dan terdakwa
2. Pedoman Atau Ajaran Dalam Peletakan Sanksi Adat
Dalam menyelesaikan berbagai kasus, khususnya pada saat peletakan sanksi adat kepada seseorang yang dikenai hukum adat, para
Pemangku Adat/Praktisi Peradilan Adat atau Tetua Adat terikat pada ajaran adat seperti misalnya yaitu:
- “Adil ka’ Talino, bacarumin ka’ Saruga, basengat ka’ Jubata” (adil terhadap sesama manusia(talino), bercermin kepada Kebaikan surga, Tuhan member hidup/kehidupan), arti makna tersebut adalah; bahwa dalam setiap menyelesaikan perkara kita harus bersikap adil, jujur tidak diskriminatif terhadap sesama manusia dengan mengedepankan perbuatan baik seperti surga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
- “Adat labih jubata bera, adat kurang antu bera” (adat dilebihkan Tuhan marah, adat kurang hantu marah), artinya sanksi adat yang ditetapkan tidak boleh dilebihkan atau kurang dari yang sepatutnya.
- “Pamangkong ame’ patah, tanah ame’ lamakng, ular ame’ mati” (pemukul jangan patah, tanah jangan berbekas, ular jangan mati), artinya bahwa dalam mengambil keputusan tidak melukai hati kedua pihak yang bersengketa, bagaimana agar hubungan kedua pihak menjadi baik kembali, bukan justru membuat putus hubungan kedua pihak atau membuat situasi dan kondisi semakin rumit. Karena prinsifnya Hukum Adat itu Mendamaikan dan memberikan ketenangan.
PEMANGKU ADAT DAYAK TIMANGGONG/ DOMONG/ KEPALA ADAT DAYAK ATAU SEBUTAN LAINNYA SE KALIMANTAN BARAT (3)
C. DASAR FORMAL BERLAKUNYA HUKUM ADAT
Masyarakat adat, Hukum Adat, fungsionaris adat serta hak-hak tradisionalnya sudah ada jauh sebelum lahirnya negara, namun demikian setelah ada negara sangat baik kalau secara formal ada pengaturannya dalam Peraturan Perundangan untuk menjadi dasar pelaksanaan tugas penyelenggaraan negara dan kebijakan pemerintah. Dasar hukum formal berlakunya
Hukum Adat di Indonesia antara lain adalah:
HUKUM FORMAL | ISI/ URAIAN |
UUD 1945 (Sebelum Perubahan): Pada bagian Penjelasan Umum I | UUD sutau Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya dasar Negara itu. UUD ialah hukum dasar yang tertulis, sedangkan di sampingnya UUD itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbuldan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis. |
Tap. MPR no. IX/2001, Pasal 4 j: | Salah satu prinsip dalam pembaruan agraria dan pengelolaan sumber Dayak alam yang harus dilaksanakan adalah mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber Daya agraria/ sumber Dayak alam. |
UU No. 5/1960 (UUPA): Pasal 3 dan Pasal 5 | Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak-ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat. Sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang besandar pada hukum agama. |
UU No. 39/1999 ttg HAM: Pasal 6 Ayat 1 dan Pasal 6 Ayat 2 | Dalam rangka penegakkan HAM, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat Hukum Adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat dan Pemerintah. Identitas budaya masyarakat Hukum Adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman. |
UU No. 32/2004: tentang Pemda Pasal 203 ayat 3 dan Pasal 216 ayat 2 | Pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan Masyarakat hukum Adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan Hukum Adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada PP. Perda, sebagaimana dimaksud pada ayat 1, wajib mengakui dan menghormati hak, asal-usul, dan adat istiadat Desa. |
Peraturan Mendagri No. 3/1997 | Tentang Pemberdayaan dan Pelestarian serta Pengembangan Adat-Istiadat, Kebiasaan-Kebiasaan Masyarakat, dan Lembaga Adat di Daerah. |
Peraturan Menteri Negara Agraria Kepala BPN No. 5/1999 | Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. |
ILO/Organisasi Buruh Internasional: | Keberadaan Masyarakat Adat, Hukum Adat dan Hak Ulayat diakui dan dihormati dalam Konvensi Mengenai Bangsa Pribumi dan Masyarakat Adat di Negara-Negara Merdeka, yaitu Konvensi ILO No.169 yang disahkan Juni 1989 oleh International Labour Organization (ILO). |
Hasil Kongres Pemuda 1928 | Selain melahirkan Sumpah Pemuda, juga sepakat bahwa Hukum Adat merupakan salah satu dasar persatuan bangsa Indonesia; Dasar persatuan yang lain adalah Kemauan, Sejarah, Bahasa, Kependidikan dan Kepanduan. |
D. LAMBANG DAN MAKNA PERADILAN ADAT
- Gantang : Adalah alat takaran yang terbuat dari kayu/ kulit kayu, yang melambangkan sejauhmana kebenaran dan kesalahan seseorang.
- Pamipis : adalah alat untuk memipis/menakar yang terbuat dari kayu, yang melambangkan Keputusan yang Adil
- Segi Lima : Melambangkan bahwa dalam kehidupan Manusia Dayak terkandung lima asfek yaitu:
- Adat Istiadat
- Peraga Adat
- Bahasa Adat
- Kesenian dan Cerita Adat
- Hak Tanah Adat/Hutan Adat
- Kata Adil Ka’ Talino, Bacuramin Ka’ Saruga, Basengat Ka’ Jubata, artinya: bahwa dalam peradilan kita harus bersikap adil, jujur tidak diskriminatif terhadap sesama manusia, dengan mengedepankan perbuatan baik seperti surga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
- Lambang Peradilan adat ini juga digunakan sebagai Kop Surat untuk Timanggong/Domong/Kepala Adat Dayak atau sebutan lainnya yang ada di Kalimantan Barat.
E. MAKSUD DAN TUJUAN PERADILAN ADAT
- Maksud diciptakannya Hukum Adat adalah sebagai pedoman bagi masyarakat adat dalam mengatur perilaku kehidupan sehari-hari agar tidak terjadi kesalahan dalam bertindak yang merugikan orang lain.
- Hukum Adat di mana saja diciptakan manusia (talino) bukan hanya berfungsi untuk menghukum saja, tetapi lebih dari pada itu, yakni untuk membina, dan mendidik seseorang agar menjadi manusia yang beradat, berbudaya yang baik, bermoral, bertaqwa, jujur, adil dan berdisiplin.
F. STRUKTUR PERADILAN ADAT DAYAK
Suku bangsa Dayak merupakan suku bangsa yang memiliki Jumlah sub suku terbesar di Indonesia, dengan bahasa dan adat yang berbeda. Walaupu terdapat perbedaan, namun memiliki kesamaan dalam hal pemberlakuan hukum adat, yakni sama-sama masih kental dan kuat menjalankan adat dan hukum adat dalam kehidupan sehari-hari. Kondisi ini semakin diperkuat dengan adanya lembaga adat Dayak yang mulai tertata dari tingkat nasional hingga ketingkat masyarakat yang lebih kecil, seperti sruktur berikut ini.
G. KETENTUAN DAN PEDOMAN DALAM PELETAKAN SANKSI HUKUM ADAT
1. Ketentuan dalam Peletakan Sanksi Hukum Adat
- Kejahatan dan pelanggaran adat tidak dapat dikenai sanksi adat apabila Nama, Identitas dan Alamat tempat tinggal tersangka tidak jelas.
- Ketentuan Hukum Adat di Kalimantan Barat ditetapkan bagi setiap orang yang melakukan perbuatan tindak kejahatan dan pelanggaran adat dalam masyarakat, baik yang berhubungan dengan masyarakat adat maupun lingkungannya. Semua orang sama diperlakukan di muka hukum, patuh, tunduk dan menghormati hukum adat dengan selalu berpegang ”Dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung”.
- Sanksi Adat/Hukum Adat yang diberlakukan kepada seseorang diluar suku Dayak bukan untuk menghukum Sukunya tetapi yang disanksi adalah tindakan/perbuatannya yang salah, yang melanggar adat/hukum adat.
- Pemberlakuan Hukum Adat harus didasarkan pada azas kepatutan dan keselarasan, sehingga terciptanya ketenangan, kedamaian, keharmonisan, kebenaran dan keadilan dalam masyarakat.
- Dalam menyelesaikan kasus perkara adat/hukum adat harus dilakukan oleh mereka yang benar-benar sebagai Pemangku Adat/Praktisi hukum adat seperti: Timanggong/Domong/Kepala Adat atau Pasirah/Pangaraga atau istilah lainnya. Di luar fungsionaris/praktisi hukum adat dilarang keras mengatur atau menjatuhkan sanksi hukum adat terhadap siapapun.
- Pengurus Dewan Adat Dayak tidak dibenarkan menjatuhkan sanksi hukum adat, kecuali yang bersangkutan merangkap sebagai Timanggong/Domong/Kepala Adat atau sebutan lainnya.
- Seseorang yang bukan kewenangannya mengatur/manjatuhkan sanksi hukum adat dapat dikenai sanksi Hukum Adat.
- Setiap Sanksi/Hukum adat yang sudah di bayar oleh terdakwa kepada penuntut melalui Pemangku Adat/praktisi hukum adat wajib diselenggarakan penyerahan Adatnya melalui Upacara Penyelesaian Hukum Adat (Munuh Adat), yang dihadiri oleh kedua belah pihak yakni terdakwa dan penuntut beserta ahli warisnya, pengurus dewan adat dan Pemangku Adat/praktisi hukum adat.
- Pelaksanaan Penyelesaian/Munuh adat dapat dilaksanakan di beberapa tempat sesuai dengan atauran dan kebiasaan masyarakat adat setempat, seperti:
- Rumah Adat/Balai Adat
- Rumah Pemangku Adat/Praktisi Hukum Adat
- Rumah Penuntut
- Balai Pertemuan yang ada di wilayah hukum adatnya
- Rumah/tempat yang wajar dan sesuai dengan tatanan adat istiadat setempat.
- Mengingat suku Dayak terdiri dari sub suku-sub suku memiliki beragam adat istiadat dan Hukum Adat, maka Hukum Adat yang dipakai dalam menjatuhkan sanksi adat adalah:
- Jika Penuntut dan terdakwa adalah suku Dayak, maka Hukum Adat yang digunakan adalah hukum adat Sub Suku Penuntut.
- Jika Penuntut dari suku Dayak dan terdakwa dari Non suku Dayak, maka Hukum Adat yang digunakan adalah hukum adat Sub Suku Penuntut.
- Jika Penuntut dari suku non Dayak dan terdakwa dari suku Dayak, maka Hukum Adat yang digunakan adalah hukum adat Sub Suku terdakwa.
- Pemangku Adat/Praktisi Hukum Adat yang mengurus dan menjatuhkan sanksi adat ditempat lain atau daerah lain yang bukan wilayah hukumnya, harus terlebih dahulu berkoordinasi dengan Dewan Adat atau fungsionaris/praktisi hukum adat setempat. Atau memberikan kuasa atau mandat atau pelimpahan kepada fungsionaris/praktisi hukum adat setempat.
- Hukum adat/Sanksi adat yang sudah diputuskan oleh fungsionaris/praktisi hukum adat dan sudah disepakati oleh kedua belah pihak (penuntut dan terdakwa) serta ahli warisnya, tidak dapat diganggu gugat kembali.
- Dalam melakukan proses pengurusan perkara adat/hukum adat disarankan agar setiap Pemangku Adat/Praktisi Hukum Adat seperti Timanggong/Domong/ Kepala Adat (Pasirah, Pangaraga) atau sebutan lainnya, menyediakan perangkat administrasi atau blangko seperti:
- Surat Pengaduan/laporan perkara yang di isi oleh Pelapor/Penuntut
- Surat Pernyataan bersedia Menyelesaikan perkara dengan hukum adat dan membayar sanksi adat, yang di isi oleh terdakwa.
- Berita acara Penyelesaian Perkara.
- Surat Pernyataan Damai antara Penuntut dan terdakwa
2. Pedoman Atau Ajaran Dalam Peletakan Sanksi Adat
Dalam menyelesaikan berbagai kasus, khususnya pada saat peletakan sanksi adat kepada seseorang yang dikenai hukum adat, para
Pemangku Adat/Praktisi Peradilan Adat atau Tetua Adat terikat pada ajaran adat seperti misalnya yaitu:
- “Adil ka’ Talino, bacarumin ka’ Saruga, basengat ka’ Jubata” (adil terhadap sesama manusia(talino), bercermin kepada Kebaikan surga, Tuhan member hidup/kehidupan), arti makna tersebut adalah; bahwa dalam setiap menyelesaikan perkara kita harus bersikap adil, jujur tidak diskriminatif terhadap sesama manusia dengan mengedepankan perbuatan baik seperti surga berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
- “Adat labih jubata bera, adat kurang antu bera” (adat dilebihkan Tuhan marah, adat kurang hantu marah), artinya sanksi adat yang ditetapkan tidak boleh dilebihkan atau kurang dari yang sepatutnya.
- “Pamangkong ame’ patah, tanah ame’ lamakng, ular ame’ mati” (pemukul jangan patah, tanah jangan berbekas, ular jangan mati), artinya bahwa dalam mengambil keputusan tidak melukai hati kedua pihak yang bersengketa, bagaimana agar hubungan kedua pihak menjadi baik kembali, bukan justru membuat putus hubungan kedua pihak atau membuat situasi dan kondisi semakin rumit. Karena prinsifnya Hukum Adat itu Mendamaikan dan memberikan ketenangan.
Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata. Blog ini berisi konten adat dan budaya Dayak Kalimantan Barat. Semoga apa yang saya bagikan dapat menjadi sumbangan pengetahuan bagi kita semua. Saya juga mengharap kritik dan saran yang membangun bagi pengetahuan saya sebagai praktisi adat. Salam Budaya.