PERAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Oleh: Drs. Yakobus Kumis
Pendahuluan
Jauh sebelum Indonesia Merdeka telah ada komunitas-komunitas
Masyarakat Adat Dayak, dalam wujud bermacam-macam sub
suku Dayak yang tersebar di seantero Pulau Kalimantan.
Dari peninggalan orang-orang tua pendahulu kita, serta tulisan-tulisan atau buku tentang orang Dayak, tidak banyak di tulis tentang kemampuan orang Dayak berniaga. Ada juga penuturan kebiasaan Dayak Punan yang sejak lama melakukan bisnis seperi barter. Apabila kita ingin mendapatkan emas kita taruh/letakkan tembakau, garam, beras, atau lainya di depan goa kekediaman mereka dan besok kita akan menerima beberapa gram emas.
Komunitas – komunitas Dayak masa lalu memeliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan sumber daya alamnya (SDA) disekitas wilayahnya, dan kehidupan social dalam komunitas-komunitas tersebut diatur beradasarkan hak adat.
Mungkin karena kebiasaan-kebiasaanya tersebut orang Dayak sampai saat ini tidak banyak yang berwiraswasta, dan jiwa entrepreneur-nya kurang berkembang, sehingga sampai saat ini bisnis dan perdagangan/ekonomi dikuasai oleh Tionghua, Madura, bugis, padang dan lain-lain.
Tradisi awal masyarakat Adat Dayak ditancapkan pada rapat besar Perdamaian di Tumbang Anoi tahun 1894 yang dihadiri oleh kurang lebih 400 utusan dari berbagai sub suku Dayak dari berbagai wilayah di Kalimantan.
Salah satu hasil musyawarah Tumbang Anoi tahun 1894, adalah hidup dalam kejujuran, bebersamaan, kesetaraan demi kedamaian dan kesejahteraan bersama. Maka tidak ada kata lain, bahwa untuk membangun daerah, khususnya Dayak, ekonomi perlu diperjuangkan bersama, yaitu para pebisnis/masyarakat yang berjiwa enterfreneur didorong dan di fasilitasi kebutuhannya, bahkan mulai dari bangku SD harus didorong jiwa entrepreneur nya.
Memasuki Indonesia merdeka tahun 1945, masyarakat adat Dayak sepakat dan berkomitmen ikut berjuang dan bergabung menjadi Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI), melalui partai Persatuan Dayak (PPD), walaupun komitmen masyarakat Dayak terus diciderai oleh perlakuan yang tidak adil (diskriminatif sampai detik ini)
Dalam upaya pemulihan dampak berbagai krisis berkepanjangan yang sedang melanda Indonesia khususnya bagi anggota masyarakat yang rentan terkena akibat paling parah, baik dalam bentuk kekurangan pangan maupun penurunan derajat kesehatan, pendidikan, hilangannya lapangan pekerjaan, menurunya mentalitas generasi muda dan semakin menipisnya rasa kesetiakawanan social, diperlukan pemberdayaan
ekonomi di tingkat akar rumput (Grass-root). Pemberdayaan ekonomi yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat adat, terutama mereka yang berekonomi lemah. Krisis Global yang melanda negeri ini tampaknya belum terpulihkan. Kegiatan ekonomi di sector riil tampaknya mandek, meskipun Pemerintah tetap mengeluarkan skim kredit murah untuk pembiayaan pengusaha lemah, kecil dan koperasi spread bunga perbankan yang negative.
Problematik dan Kondisi Riil yang dihadapi Masyarakat adat
Salah satu topic yang hangat didiskusikan akhir-akhir ini di Indonesia, khususnya Kalimantan Barat adalah terabaikannya hak Masyarakat adat dalam pemanfaatan sumber daya alam oleh Pemerintah dan para pengusaha. Coordinator Program Pelestarian Hutan dan Mitigasi Bencana WWF Indonesia, Fitrian Ardiansyah, menilai Indonesia ketinggalan dibanding Papua Nugini (PNG) dalam hal penghormatan terhadap hak adat. Menurutnya, hukum positif yang mengatur masalah kelesatarian alam di Indonesia, belum banyak memberi tempat kepada
Hak Masyarakat adat. “Hutan masih sepenuhnya dikuasai Negara. Masyarakat adat di sekitarnya tidak mendapatkan banyak keuntungan dari hutan itu,” katanya. Masyarakat adat yang semestinya berhak penuh atas hutan di sekitarnya menjadi benar-benar tak berdaya. Mereka hanya bisa melihat ketika hutannya dibabat. PNG telah memasukan hak adat atas hutan dalam undang-undang dasar mereka. Hal ini juga diakui Direktur Eksekutif Center For Environmental Law and Community Right (Cellor) --LSM Damien Ase.
Menurutnya, segala pembudidayaan hutan di negaranya, harus mendapat izin dari Masyarakat adat. Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa jika Masyarakat adat tidak merestuinya. Selain masuk undang-undang dasar, katanya, hak adat juga masuk undang-undang pertanahan, dan undang-undang kehutanan.
Pentingnya Hak Adat dihormati dalam upaya pelestarian alam juga ditekankan Koordinator Sawit Wacth, Rudy Lamaru.
Menurutnya, banyak kearifan Masyarakat adat yang belum terkomunikasikan dengan baik. Dia mengungkapkan bahwa sebagian masyarakat masih memiliki hutan yang sama sekali tidak boleh ditebang. Setelah diteliti, katanya, ternyata hutan-hutan terlarang itu memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi. (Rudy Lamuru: Sawit Watch.Com).
Reformasi politik 1998 yang mengemban terwujudnya demokratisasi dan desentralisasi bergayung dengan tuntutan
Masyarakat adat selama ini untuk memperoleh haknya yang telah dirampas oleh Orde Baru dengan memiliki kembali suatu “pemerintahan” otonom diwilayah komunitasnya sesuai dengan kepentingannya. Masa Orde Baru merupakan suatu masa kegelapan bagi Masyarakat adat sehingga melahirkan suatu proses marginalisasi di segala bidang. Marginalisasi itu tampak dari berbagai bentuk .
- Dengan lahirnya UU no. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa , maka Masyarakat adat tidak lagi memiliki suatu pemerintahan local yang otonom.
- Lembaga adat yang melayani kepentingan komunitasnya kemudian dikebiri dengan dijadikan sebagai bagian dari organisasi state corporatisme. Oleh karenanya ditingkat propinsi, kabupaten sampai kecamatan diluar jawa muncul apa yang disebut Lembaga Masyarakat Adat.
- Kalaupun lembaga adat masih dibiarkan hidup tetapi fungsinya dibatasi pada hal-hal yang tidak mengurangi hegemoni Negara atas masyarakat asli, misalnya mempertahankan berlakunya hukum adat secara terbatas karena masyarakat masih mempertahankannya.
- Masyarakat adat menjadi semakin terasing dengan dunia politik dilingkungannya dan tidak mempunyai suatu kepemimpinan local yang sejalan dengan worldviewnya. Akibatnya, masyarakat adat menjadi tidak mempunyai bargaining power dalam menghadapi kekuatan dari luar baik yang merepresentasikan Negara maupun ekonomi akar rumput (grass rood). Salah satu hambatan adalah hancurnya modal social kepemimpinan dan kebersamaan yang mereka miliki untuk mewujudkan suatu kekuatan bersama dalam mengembangkan komunitasnya, dan rendahnya capacity building untuk mengelola organisasi adat serta ketrampilan demokrasi untuk mengelola konfik dan kepentingan. Akibatnya proses konsolidasi antar elit / pemimpin adat dengan masyarakatnya serta antara elit adat itu sendiri berjalan lambat. Sementara ancaman dari luar pun tidak dapat diabaikan. Ini terlihat perjuangan mereka yang sarat dengan tuduhan untuk mewujudkan gerakan saparatisme yang mengancam Negara kesatuan serta persatuan bangsa. Sementara itu, mereka harus mampu berhadapan dengan berbagai stakeholder seperti lembaga legislative, eksekutif, press, dan sector swasta yang mempunyai kepentingan berlainan dan dapat menghambat proses revitalisasi masyarakat adat ke depan.(Urgensi Memberdayakan Masyarakat Adat: ireyogya.org)
Masyarakat adat yang berada pada level akar rumput pada umumnya sering menghadapi benturan dalam mengembangkan usahanya. Benturan utama yang menjadi penghalang adalah kurangnya modal yang mereka miliki. Sebagai contoh kecil, petani yang mencoba mengembangkan usaha kebunnya dengan bercocok tanam sawit seadanya. Hasilnya tentu takkan membuahkan suatu hasil yang bisa diandalkan untuk memenuhi semua keperluan rumah tangga. Begitu juga halnya yang dialami petani karet kita.
Mereka malah sering dipermainkan oleh cukong-cukong yang justru menekan harga dan mereka tetap tak berdaya untuk mensejahterakan dirinya. Dalam hal ini masyarakat kita butuh perubahan. Perubahan itu muncul bila ada arus modal yang masuk kedalam roda perekonomian masyarakat. Modal itu tentunya tidak bisa terus-menerus mengandalkan suntikan dana dari pemerintah pusat yang sudah memiliki utang Negara yang sangat besar. Untuk itu, bagi masyarakat, terutama Masyarakat adat yang ada di daerah-daerah, butuh arus modal dari saluran selain dari Pemerintah Daerah.
Salah satu arus modal yang bisa membantu
peningkatan perekonomian masyarakat adat itu adalah masuknya investor-investor asing dan domestic yang menanamkan modalnya bagi pembangunan ekonomi masyarakat. Kalimantan termasuk salah satu tempat berinvestasi yang sangat potensial bagi para investor. Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di Kalimantan Barat sangatlah kaya, namun demikian hal itu tidak di imbangi dengan Sumber Daya Manusianya. Kosekuensinya, banyak lahan dan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada tidak terekplorasi dengan baik dan potensi yang ada membeku dan tidak memberi manfaat bagi Masyarakat adat. Bisa dikatakan bahwa landscape dan geosfer Kalimantan Barat sangat potensial untuk dijadikan sebagai lahan perkebunan dan pertambangan.
Akankah sumber daya alam dan lahan yang ada dibiarkan begitu saja tanpa diefektivitaskan menjadi lahan yang menghasilkan tanaman produksi yang memberi hasil yang signifikan bagi Masyarakat adat?
Namun demikian, sering terjadi bahwa
Masyarakat adat sering alergi dan apriori kalau mendengar yang namanya perkebunan dan pertambangan. Perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit sering dianggap sumber malapetaka.Benarkah masyarakat adat apriori? Atau mungkin apakah ada yang salah dengan sistim yang selama ini dilakukan? Bagaimana peran Lembaga adat dan juga Pemerintah mensikapi semua persoalan Perkebunan dan Pertambangan yang selama ini menjadi Momok bagi
masyarakat Adat.
Pustaka
- Bdk. Rudy Lamuru dalam, Sawit Watch.Com
- Institute for research and empowerment (IRE) Yogyakarta, “ Urgensi Memberdayakan Masyarakat Adat”, dalam Website ireyogya.org.
PERAN ADAT ISTIADAT DAN LEMBAGA ADAT DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Oleh: Drs. Yakobus Kumis
Pendahuluan
Jauh sebelum Indonesia Merdeka telah ada komunitas-komunitas
Masyarakat Adat Dayak, dalam wujud bermacam-macam sub
suku Dayak yang tersebar di seantero Pulau Kalimantan.
Dari peninggalan orang-orang tua pendahulu kita, serta tulisan-tulisan atau buku tentang orang Dayak, tidak banyak di tulis tentang kemampuan orang Dayak berniaga. Ada juga penuturan kebiasaan Dayak Punan yang sejak lama melakukan bisnis seperi barter. Apabila kita ingin mendapatkan emas kita taruh/letakkan tembakau, garam, beras, atau lainya di depan goa kekediaman mereka dan besok kita akan menerima beberapa gram emas.
Komunitas – komunitas Dayak masa lalu memeliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan sumber daya alamnya (SDA) disekitas wilayahnya, dan kehidupan social dalam komunitas-komunitas tersebut diatur beradasarkan hak adat.
Mungkin karena kebiasaan-kebiasaanya tersebut orang Dayak sampai saat ini tidak banyak yang berwiraswasta, dan jiwa entrepreneur-nya kurang berkembang, sehingga sampai saat ini bisnis dan perdagangan/ekonomi dikuasai oleh Tionghua, Madura, bugis, padang dan lain-lain.
Tradisi awal masyarakat Adat Dayak ditancapkan pada rapat besar Perdamaian di Tumbang Anoi tahun 1894 yang dihadiri oleh kurang lebih 400 utusan dari berbagai sub suku Dayak dari berbagai wilayah di Kalimantan.
Salah satu hasil musyawarah Tumbang Anoi tahun 1894, adalah hidup dalam kejujuran, bebersamaan, kesetaraan demi kedamaian dan kesejahteraan bersama. Maka tidak ada kata lain, bahwa untuk membangun daerah, khususnya Dayak, ekonomi perlu diperjuangkan bersama, yaitu para pebisnis/masyarakat yang berjiwa enterfreneur didorong dan di fasilitasi kebutuhannya, bahkan mulai dari bangku SD harus didorong jiwa entrepreneur nya.
Memasuki Indonesia merdeka tahun 1945, masyarakat adat Dayak sepakat dan berkomitmen ikut berjuang dan bergabung menjadi Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI), melalui partai Persatuan Dayak (PPD), walaupun komitmen masyarakat Dayak terus diciderai oleh perlakuan yang tidak adil (diskriminatif sampai detik ini)
Dalam upaya pemulihan dampak berbagai krisis berkepanjangan yang sedang melanda Indonesia khususnya bagi anggota masyarakat yang rentan terkena akibat paling parah, baik dalam bentuk kekurangan pangan maupun penurunan derajat kesehatan, pendidikan, hilangannya lapangan pekerjaan, menurunya mentalitas generasi muda dan semakin menipisnya rasa kesetiakawanan social, diperlukan pemberdayaan
ekonomi di tingkat akar rumput (Grass-root). Pemberdayaan ekonomi yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat adat, terutama mereka yang berekonomi lemah. Krisis Global yang melanda negeri ini tampaknya belum terpulihkan. Kegiatan ekonomi di sector riil tampaknya mandek, meskipun Pemerintah tetap mengeluarkan skim kredit murah untuk pembiayaan pengusaha lemah, kecil dan koperasi spread bunga perbankan yang negative.
Problematik dan Kondisi Riil yang dihadapi Masyarakat adat
Salah satu topic yang hangat didiskusikan akhir-akhir ini di Indonesia, khususnya Kalimantan Barat adalah terabaikannya hak Masyarakat adat dalam pemanfaatan sumber daya alam oleh Pemerintah dan para pengusaha. Coordinator Program Pelestarian Hutan dan Mitigasi Bencana WWF Indonesia, Fitrian Ardiansyah, menilai Indonesia ketinggalan dibanding Papua Nugini (PNG) dalam hal penghormatan terhadap hak adat. Menurutnya, hukum positif yang mengatur masalah kelesatarian alam di Indonesia, belum banyak memberi tempat kepada
Hak Masyarakat adat. “Hutan masih sepenuhnya dikuasai Negara. Masyarakat adat di sekitarnya tidak mendapatkan banyak keuntungan dari hutan itu,” katanya. Masyarakat adat yang semestinya berhak penuh atas hutan di sekitarnya menjadi benar-benar tak berdaya. Mereka hanya bisa melihat ketika hutannya dibabat. PNG telah memasukan hak adat atas hutan dalam undang-undang dasar mereka. Hal ini juga diakui Direktur Eksekutif Center For Environmental Law and Community Right (Cellor) --LSM Damien Ase.
Menurutnya, segala pembudidayaan hutan di negaranya, harus mendapat izin dari Masyarakat adat. Pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa jika Masyarakat adat tidak merestuinya. Selain masuk undang-undang dasar, katanya, hak adat juga masuk undang-undang pertanahan, dan undang-undang kehutanan.
Pentingnya Hak Adat dihormati dalam upaya pelestarian alam juga ditekankan Koordinator Sawit Wacth, Rudy Lamaru.
Menurutnya, banyak kearifan Masyarakat adat yang belum terkomunikasikan dengan baik. Dia mengungkapkan bahwa sebagian masyarakat masih memiliki hutan yang sama sekali tidak boleh ditebang. Setelah diteliti, katanya, ternyata hutan-hutan terlarang itu memiliki nilai konservasi yang sangat tinggi. (Rudy Lamuru: Sawit Watch.Com).
Reformasi politik 1998 yang mengemban terwujudnya demokratisasi dan desentralisasi bergayung dengan tuntutan
Masyarakat adat selama ini untuk memperoleh haknya yang telah dirampas oleh Orde Baru dengan memiliki kembali suatu “pemerintahan” otonom diwilayah komunitasnya sesuai dengan kepentingannya. Masa Orde Baru merupakan suatu masa kegelapan bagi Masyarakat adat sehingga melahirkan suatu proses marginalisasi di segala bidang. Marginalisasi itu tampak dari berbagai bentuk .
- Dengan lahirnya UU no. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa , maka Masyarakat adat tidak lagi memiliki suatu pemerintahan local yang otonom.
- Lembaga adat yang melayani kepentingan komunitasnya kemudian dikebiri dengan dijadikan sebagai bagian dari organisasi state corporatisme. Oleh karenanya ditingkat propinsi, kabupaten sampai kecamatan diluar jawa muncul apa yang disebut Lembaga Masyarakat Adat.
- Kalaupun lembaga adat masih dibiarkan hidup tetapi fungsinya dibatasi pada hal-hal yang tidak mengurangi hegemoni Negara atas masyarakat asli, misalnya mempertahankan berlakunya hukum adat secara terbatas karena masyarakat masih mempertahankannya.
- Masyarakat adat menjadi semakin terasing dengan dunia politik dilingkungannya dan tidak mempunyai suatu kepemimpinan local yang sejalan dengan worldviewnya. Akibatnya, masyarakat adat menjadi tidak mempunyai bargaining power dalam menghadapi kekuatan dari luar baik yang merepresentasikan Negara maupun ekonomi akar rumput (grass rood). Salah satu hambatan adalah hancurnya modal social kepemimpinan dan kebersamaan yang mereka miliki untuk mewujudkan suatu kekuatan bersama dalam mengembangkan komunitasnya, dan rendahnya capacity building untuk mengelola organisasi adat serta ketrampilan demokrasi untuk mengelola konfik dan kepentingan. Akibatnya proses konsolidasi antar elit / pemimpin adat dengan masyarakatnya serta antara elit adat itu sendiri berjalan lambat. Sementara ancaman dari luar pun tidak dapat diabaikan. Ini terlihat perjuangan mereka yang sarat dengan tuduhan untuk mewujudkan gerakan saparatisme yang mengancam Negara kesatuan serta persatuan bangsa. Sementara itu, mereka harus mampu berhadapan dengan berbagai stakeholder seperti lembaga legislative, eksekutif, press, dan sector swasta yang mempunyai kepentingan berlainan dan dapat menghambat proses revitalisasi masyarakat adat ke depan.(Urgensi Memberdayakan Masyarakat Adat: ireyogya.org)
Masyarakat adat yang berada pada level akar rumput pada umumnya sering menghadapi benturan dalam mengembangkan usahanya. Benturan utama yang menjadi penghalang adalah kurangnya modal yang mereka miliki. Sebagai contoh kecil, petani yang mencoba mengembangkan usaha kebunnya dengan bercocok tanam sawit seadanya. Hasilnya tentu takkan membuahkan suatu hasil yang bisa diandalkan untuk memenuhi semua keperluan rumah tangga. Begitu juga halnya yang dialami petani karet kita.
Mereka malah sering dipermainkan oleh cukong-cukong yang justru menekan harga dan mereka tetap tak berdaya untuk mensejahterakan dirinya. Dalam hal ini masyarakat kita butuh perubahan. Perubahan itu muncul bila ada arus modal yang masuk kedalam roda perekonomian masyarakat. Modal itu tentunya tidak bisa terus-menerus mengandalkan suntikan dana dari pemerintah pusat yang sudah memiliki utang Negara yang sangat besar. Untuk itu, bagi masyarakat, terutama Masyarakat adat yang ada di daerah-daerah, butuh arus modal dari saluran selain dari Pemerintah Daerah.
Salah satu arus modal yang bisa membantu
peningkatan perekonomian masyarakat adat itu adalah masuknya investor-investor asing dan domestic yang menanamkan modalnya bagi pembangunan ekonomi masyarakat. Kalimantan termasuk salah satu tempat berinvestasi yang sangat potensial bagi para investor. Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di Kalimantan Barat sangatlah kaya, namun demikian hal itu tidak di imbangi dengan Sumber Daya Manusianya. Kosekuensinya, banyak lahan dan Sumber Daya Alam (SDA) yang ada tidak terekplorasi dengan baik dan potensi yang ada membeku dan tidak memberi manfaat bagi Masyarakat adat. Bisa dikatakan bahwa landscape dan geosfer Kalimantan Barat sangat potensial untuk dijadikan sebagai lahan perkebunan dan pertambangan.
Akankah sumber daya alam dan lahan yang ada dibiarkan begitu saja tanpa diefektivitaskan menjadi lahan yang menghasilkan tanaman produksi yang memberi hasil yang signifikan bagi Masyarakat adat?
Namun demikian, sering terjadi bahwa
Masyarakat adat sering alergi dan apriori kalau mendengar yang namanya perkebunan dan pertambangan. Perkebunan seperti perkebunan kelapa sawit sering dianggap sumber malapetaka.Benarkah masyarakat adat apriori? Atau mungkin apakah ada yang salah dengan sistim yang selama ini dilakukan? Bagaimana peran Lembaga adat dan juga Pemerintah mensikapi semua persoalan Perkebunan dan Pertambangan yang selama ini menjadi Momok bagi
masyarakat Adat.
Pustaka
- Bdk. Rudy Lamuru dalam, Sawit Watch.Com
- Institute for research and empowerment (IRE) Yogyakarta, “ Urgensi Memberdayakan Masyarakat Adat”, dalam Website ireyogya.org.
Adil Ka' Talino, Bacuramin Ka' Saruga, Basengat Ka' Jubata. Blog ini berisi konten adat dan budaya Dayak Kalimantan Barat. Semoga apa yang saya bagikan dapat menjadi sumbangan pengetahuan bagi kita semua. Saya juga mengharap kritik dan saran yang membangun bagi pengetahuan saya sebagai praktisi adat. Salam Budaya.